Oleh: Afifah Nurlaila
"Saudara terdekat kita ialah tetangga," rasanya ungkapan itu sederhana, tapi sebenarnya memiliki makna yang sangat dalam, terlebih untuk manusia yang pada dasarnya adalah makhluk sosial yang tak dapat hidup seorang diri.
Dewasa ini kita dapati permukiman-permukiman baru tumbuh merajalela di setiap kota, pun pedesaan. Banyak dari permukiman tersebut yang kemudian memang dibuat mewah, sengaja dibuat eksklusif, seperti tertutup dan tak terlihat oleh sekelilingnya. Tembok rumah ditinggikan, pagar-pagar ditutup rapat, seakan tak ada lagi celah bagi tetangga untuk melihat halaman rumahnya.
Berbeda halnya dengan beberapa puluh tahun lalu. Kita dapati arsitektur rumah tak perlu pagar dari besi ataupun tembok yang tinggi. Hanya bermodalkan pohon singkong atau jenis pepohonan lainnya yang hanya setinggi perut orang dewasa. Orang-orang zaman dahulu sudah merasa aman dengan pagar yang demikian, tanpa harus memikirkan untuk menutup atau menguncinya. Menurut mereka, tetanggalah pagar yang lebih dapat menjaga kita, lebih daripada pagar tembok maupun pagar besi, yang menjulang tinggi dan kokoh berdiri menutupi.
Pagar Mangkuk
Ada pepatah Jawa yang mengatakan "pager mangkok luwih kuat tinimbang pager tembok" (pagar mangkuk lebih kuat daripada pagar tembok), artinya bahwa tetangga yang baik, lebih bisa menjaga harta benda kita, daripada pagar tinggi yang kokoh sekali pun. Istilah pagar mangkuk berkaitan erat dengan budaya memberi makanan dalam kehidupan bertetangga. Sering kali tetangga memberi masakan pada tetangga sebelahnya, baik saat ada hajatan maupun tidak. Hal ini dimaksudkan untuk membina hubungan baik antartetangga.
Berbagi rezeki, begitulah pola pikir masyarakat yang masih membudayakan hidup bertetangga. Tentunya untuk menjaga hubungan baik, karena berawal dari hubungan baik inilah keamanan akan terjaga di lingkungan tersebut. Bahkan jika ada yang pergi untuk waktu yang lama, tetangga akan senang hati menjaga rumah beserta isinya. Tidak mungkin tetangga akan membiarkan rumah orang yang telah baik kepadanya dimasuki maling. Hal itu berbeda dengan pagar tembok. Meski pagar setinggi apapun dan pintu sekuat apapun, bisa saja kemalingan.
Tetangga tidak hanya dipandang sebagai orang atau rumah yang bersebelahan saja dengan kita. Bahkan dalam perkembangan desain arsitek bangunan pun, orang atau rumah yang letaknya di atas atau di bawah kita juga dapat dikategorikan sebagai tetangga kita. Hal ini disampaikan oleh budayawan Solo—Suprapto Suryodarmo—, "yang berada di apartemen, seperti saat ini pun, atas atau bawah kita juga termasuk tetangga," jelas Mbah Prapto, begitu ia kerap disapa.
Dalam bertetangga, Mbah Prapto menegaskan konsep pagar mangkuk merupakan konsep yang digunakan oleh para orang tua zaman dahulu. Tetangga yang satu begitu memercayakan semua urusannya pada tetangga yang lain. Mulai dari kegiatan yang bersifat pribadi seperti khitanan hingga kegiatan umum pun membutuhkan campur tangan tetangga. Semuanya saling bahu-membahu mengerjakan urusan tetangga yang lain.
Belum meningginya bangunan-bangunan serta belum dibentuknya perumahan pada zaman dahulu merupakan faktor tetangga masih dianggap sebagai elemen yang penting dalam bermasyarakat. "Dulu sebelum ada kerusuhan Mei 1998, dapat kita lihat bangunan-bangunan itu belum tinggi, orang-orang masih nyaman dan begitu terbuka dalam bertetangga. Tapi setelah kejadian itu, orang-orang terlihat individualistis, tidak lagi begitu memedulikan tetangga samping kanan kirinya. Bangunan-bangunan ditinggikan, rumah-rumah dipagari," ujar Mbah Prapto saat ditemui di Teater Arena Taman Budaya Surakarta (TBS).
Adanya campur tangan pemerintah yang mengizinkan berdirinya bangunan-bangunan tersebut, tanpa disadari mengakibatkan munculnya degradasi nilai tetangga. Selain itu juga dapat mengikis ruang yang terus saja dibatasi dan menghilangkan keselarasan hidup dalam bermasyarakat. "Adanya ruang yang dibatasi, seperti bangunan-bangunan yang meninggi sehingga perlahan-lahan mulai mengikis nilai tetangga tersebut. Juga dapat menghilangkan keselerasan hidup yang sebenarnya," terang Mbah Prapto yang juga merupakan Pimpinan Padhepokan Lembah Putih Plesungan.
Tetangga, Akankah Tergantikan?
Saat ini sebagian besar orang melihat bahwa rasa aman tidaklah berasal dari hubungan baik yang diciptakan dengan tetangga. Mereka mulai beralih dengan cara membangun tembok tinggi, hidup di sebuah lingkungan eksklusif hingga membayar fasilitas keamanan 24 jam. Kalau secara jernih kita dalami lebih dalam, mungkin hal itu akan menjadi sebuah paradoks karena sepertinya apa yang kita lakukan untuk menciptakan rasa aman pada diri kita, justru semakin membuat kita merasa tidak aman.
Tetangga kemalingan, maka kita buru-buru membuat kunci berlapis pada pintu dan pagar, kampung sebelah ada rumah tembok tinggi juga tetap disatroni maling, kita semakin mempertinggi tembok keliling rumah, menambah kawat berduri, menambah kamera pengawas bagi yang mampu. Merasa masih belum puas, kita agendakan pindah rumah coba cari-cari permukiman yang memang diciptakan begitu ketat, satpam 24 jam di gerbang, bukan penghuni yang masuk permukiman selalu diperlakukan bak tersangka, membuat para pengembang menciptakan inovasi-inovasi dalam keamanan sebuah permukiman atas tuntutan pasar yang berangkat dari rasa aman seperti itu.
"Sekarang ini pasar sudah dapat merasakan fenomena yang terjadi seperti itu. Sehingga mulai banyak bertebaran organisasi-organisasi yang dapat memuaskan keinginan individu," ujar dosen Sosiologi UNS—Yuyun Sunesti—di Ruang Humas dan Kerjasama UNS.
Hal senada juga diungkapkan oleh Mbah Prapto, peran tetangga kini dimanfaatkan oleh kaum kapitalis untuk meraup laba yang begitu banyak. "Peran-peran tetangga sekarang ini sudah banyak dimanfaatkan oleh kaum kapitalis untuk mencari untung. Seperti halnya dalam pemanfaatan jasa, dan lain sebagainya," terang Mbah Prapto.
Pada akhirnya tetangga memang tidak hanya sebatas sebagai orang atau rumah yang letaknya berdekatan dengan kita, namun juga mereka yang dapat memberi rasa aman dan nyaman. Juga mereka yang dapat memuaskan keinginan-keinginan pribadi kita.
Majalah Kentingan, Edisi 23 tahun XX, April 2017, halaman 45–46, Bentara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar